Sabtu, 16 Juni 2012

Sultan Mahmud bin Sabaktakin, Imam Qaffal dan Fanatisme Mazhab - 2

Lalu Imam Qaffal pun meminta supaya buku-buku Abu Hanifah didatangkan. Sultan pun memerintahkan agar buku-buku tersebut dihadirkan, lalu Sultan memerintahkan seorang pemeluk Kristen untuk membaca buku-buku dari kedua Mazhab Fiqih tersebut. Dan ia mendapati bahwa shalat seperti yang dilakukan oleh Imam Qaffal tersebut memang diperbolehkan menurut Abu Hanifah.

Sultan pun kemudian berpaling dari mazhabnya Abu Hanifah dan mengikuti mazhabnya Imam Syafi`i.

Imam Qaffal adalah salah seorang imam ahli pengikut Mazhab Syafi`i, nama lengkapnya Abu Bakr Abdullah bin Ahmad bin Abdullah. Meninggal pada tahun 417 H. Ia sosok paling terkemuka pada masanya. Banyak yang menimba ilmu darinya. Hanya saja kecintaannya pada Mazhab Syafi`i mengantarkannya pada taraf fanatik yang berlebihan sehingga dalam pemeragaan shalat di atas tampak Sang Imam hanya menampakkan sisi-sisi "keburukan" Mazhab Hanafi, sementara untuk Mazhab yang dianutnya sendiri ia menampakkan sisi-sisi terbaiknya.

Meskipun yang diperagakan Imam Qaffal tentang shalatnya Abu Hanifah memiliki dasar dari pendapat-pendapatnya Imam Abu Hanifah, tetapi yang dipilih oleh Imam Qaffal adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah yang tujuannya memberikan keringanan kepada umat ketika dalam kondisi tertentu. Karena tidak mungkin ada orang yang menyatakan shalat seperti yang diperagakan Imam Qaffal--untuk menunjukkan shalatnya Imam Abu Hanifah--itu sah; shalat dimana seluruh macam kekurangan berkumpul menjadi satu dalam satu waktu. Bahkan Sultan Mahmud Sabaktakin sendiri menyatakan bahwa shalat semacam ini tidak akan pernah dibenarkan oleh orang yang memiliki rasa keagamaan.

Apalagi jika melihat pribadi Abu Hanifah yang penampilannya rapi, bersih dan anggun; bagaimana mungkin akan menyatakan kebolehan menghadap Allah yang Maha Agung dalam keadaan menjijikkan seperti disebutkan di dalam kisah?!

Sabtu, 09 Juni 2012

Sultan Mahmud bin Sabaktakin, Imam Qaffal dan Fanatisme Mazhab - 1

Setelah ayahandanya meninggal, Al-Qadir Billah, salah seorang Khalifah Dinasti Abbasea memberikan julukan "Tangan Kanan Negara dan Penjaga Agama" kepada Sultan Mahmud Sabaktakin yang sebelumnya dijuluki sebagai "Pedang Negara".

Di hadapan Sultan Sabaktakin ini pernah terjadi kisah menarik berkaitan dengan fanatisme ajaran mazhab fiqih yang dilakukan oleh para pengikut mazhab itu sendiri, demi menarik Sang Sultan ke barisan mazhabnya. Padahal fanatisme tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh para guru agung pendiri masing-masing mazhab.

Kisahnya:

Sultan adalah seorang pengikut Mazhab Hanafi, ia juga sangat menyukai Ilmu Hadits. Suatu saat di musim panas ia tengah mendengarkan sebuah Hadits dan menanyakan makna yang terkandung di dalam Hadits tersebut. Kebanyakan jawaban yang didengarnya bersesuaian dengan ajaran Mazhab Syafi`i. Dari situ Sang Sultan lalu mengumpulkan para ahli fiqih dari kedua mazhab (Mazhab Syafi`i dan Hanafi) dan meminta pendapat, mana mazhab yang lebih kuat.

Untuk membandingkan ajaran kedua mazhab ini mereka menyepakati salah seorang imam untuk melakukan shalat dua rakaat di hadapan Sang Sultan. Pertama shalat dilakukan berdasarkan ajaran Mazhab Syafi`i dan selanjutnya dilakukan berdasarkan ajaran Mazhab Hanafi, sementara Sang Sultan mengawasinya untuk memilih yang terbaik.

Maka berdirilah Imam Qaffal Almaruzi untuk memeragakannya.

Imam Qaffal memulai dengan bersuci, berwudlu, dan berpakaian sesuai syarat-syarat yang disebutkan di dalam Mazhab Syafi`i. Lalu menghadap ke arah kiblat dan melakukan shalat dengan menghadirkan seluruh rukunnya, sikap, posisi dan letaknya (haiah); juga melakukan seluruh sunnah, dzikir dan doa-doanya (ab`adl) disertai tatakrama shalat secara sempurna, dimana shalat tidak boleh kurang dari hal-hal itu menurut Imam Syafi`i (Pendiri Mazhab Syafi`i).

Setelah selesai memperagakan shalat menurut Mazhab Syafi`i, Imam Qaffal pun memperagakan shalat menurut aturan yang dibolehkan oleh Imam Hanafi (Pendiri Mazhab Hanafi). Ia mengenakan pakaian dari kulit anjing yang telah disamak dan mengotori sebagian pakaian itu dengan najis. Kemudian berwudlu menggunakan arak kurma sehingga lalat-lalat pun merubunginya. Ia melakukan wudlunya dengan asal-asalan, tanpa menyertakan niat, dan dengan urutan yang terbalik. Setelah itu menghadap ke arah kiblat dan mengucapkan takbir menggunakan bahasa Persia, lalu membaca "dubrak sibaz", lalu rukuk dan sujud seperti ayam yang mematuk makanan tanpa jeda dan tenggang (tuma'ninah), lalu duduk tasyahhud dan salam tanpa disertai niat keluar/telah menyelesaikan shalat.

"Paduka Sultan, beginilah shalatnya Abu Hanifah." kata Imam Qaffal.
"Kalau ternyata ini bukan shalatnya Abu Hanifah, maka aku akan membunuhmu! Karena shalat semacam ini tidak akan pernah dibenarkan oleh orang yang memiliki rasa keagamaan." timpal Sultan Sabaktakin.

Para pengikut Mazhab Hanafi pun saling mengingkari bahwa shalat semacam itu diperbolehkan oleh Abu Hanifah. Lalu Imam Qaffal pun ... (bersambung)